My Imagination
Senin, 15 November 2021 08:28 WIBBagaimana mungkin aku akan memanggilnya, sedangkan namanya saja aku tak tahu. Aku hanya tahu ia kerja kantoran, sebab terlihat dari dandanannya. Mungkin sekretaris. Aku tersenyum. Hanya karena dia cantik, dan terlihat ramah, aku langsung menyimpulkan ia seorang sekretaris. Padahal sekretaris kantor HOT-ARTS tempat aku datang sesekali untuk meeting dengan pemesan karyaku, adalah seorang lelaki tinggi besar dan berkumis. Tak ada cantik-cantiknya.
Oh, there she goes again
Every morning it's the same ...
Tanpa perlu mengangkat kepala, aku tahu dia pasti sedang berjalan melewati depan rumahku. Mengayun langkahnya dengan riang, seirama ayunan tas di pundaknya. Tas berukuran sedang, berwarna cokelat muda, berbahan kulit imitasi, dengan hiasan gesper di depannya. Sepatunya jenis high heel dengan hak tak terlalu tinggi, mungkin hanya lima senti.
Pakaiannya selalu setelan kantoran. Seringnya blazer berwarna pastel dengan bawahan celana panjang, terkadang bawahannya rok selutut. Make up wajahnya terpulas rapi.
Sedemikian hafalnya aku dengan dia.
Oh, bagaimana dengan rambutnya hari ini? Digerai atau diikat ke belakang dengan menyisakan beberapa helai terlepas dari ikatannya?
Aku mengangkat kepala. Tatapan kami langsung bertemu. Rambutnya diikat dengan poni rapi. Kali ini tak ada helai rambut yang terlihat.
"Selamat pagi!" senyumnya yang selalu kusetel berulang-ulang di dalam kepala sebelum tidur, masih sama. Manis, seperti cake yang kunikmati bersama kopi tempo hari. Saat aku baru selesai membuat action figure pesanan klien.
Aku mengangguk, seperti biasanya. Tanganku masih memegang selang air, yang barusan kugunakan untuk mencuci motorku. Hingga ia menghilang di ujung gang, baru aku sadari, celana pendekku sudah basah kuyup, karena selang airnya malah mengarah ke sana.
***
Oh, there she goes again
Every morning it's the same
You walk on by my house, I wanna call out your name ...
Tidak pernah bisa.
Takkan pernah bisa aku memanggilnya, setiap kali ia berjalan di depan rumahku. Pergi atau sepulang bekerja. Saat aku sedang termangu di teras depan, sambil membuat ilustrasi terbaru, ditemani secangkir kopi, atau saat aku menyiram tanaman.
Bagaimana mungkin aku akan memanggilnya, sedangkan namanya saja aku tak tahu.
Aku hanya tahu ia kerja kantoran, sebab terlihat dari dandanannya. Mungkin sekretaris. Aku tersenyum. Hanya karena dia cantik, dan terlihat ramah, aku langsung menyimpulkan ia seorang sekretaris. Padahal sekretaris kantor HOT-ARTS tempat aku datang sesekali untuk meeting dengan pemesan karyaku, adalah seorang lelaki tinggi besar dan berkumis. Tak ada cantik-cantiknya.
Aku kembali ke kertas ilustrasi yang sedang kukerjakan. Rambut Scarletwitch yang sedang melayang di udara, kuberi arsiran halus. Biasanya pesanan yang datang selalu minta pose Scarletwitch yang biasa. Kedua tangan terentang, diberi efek bola merah, menandakan kekuatan telekinesis yang ia miliki. Kali ini, kugambar ia dalam posisi melayang, ekspresi wajahnya sedikit marah, rambutnya yang merah tergerai mengembang.
Kugerak-gerakkan pensilku di atas kertas.
"Soreee ..."
Sreeeet ... sebuah garis mencoreng wajah Scarletwitch, membaginya menjadi dua sisi.
Aku mengangkat kepala.
Ia tersenyum jelita dari balik pagar rumahku, melambai dengan penuh suka cita.
Aku menelan ludah.
Sebelum aku bisa pulih dari kekagetan ini, ia sudah berjalan menjauh, dengan ayunan langkahnya yang selalu ceria.
Ah ...
***
Oh, there she goes again
Every morning it's the same
You walk on by my house, I wanna call out your name ...
I wanna tell you how beautiful you are from where I'm standing
You got me thinking what we could because
I keep craving, craving, you don't know it but it's true
Can't get my mouth to say the words they wanna say to you ...
Aku baru saja memasukkan motor ke paviliun kecil samping rumahku, saat kulihat beberapa orang bergerombol di dekat rumahku. Ada Pak RT, dan beberapa Bapak-bapak lainnya, yang kukenal sebagai warga di sini.
Setelah menutup dan mengunci pintu paviliun, aku kembali ke depan. Orang-orang itu berjalan melewati rumahku. Aku berjalan menghampiri pagar. Tak enak juga bila tak menyapa.
"Mas Hamam ..." Seorang Bapak mengangguk, Pak Faisal yang tinggal dua rumah dari rumahku. Aku balas mengangguk.
"Tumben Mas, malem banget pulangnya ..." Pak RT tersenyum. Aku hanya nyengir.
"Sudah kita bubar aja Bapak-bapak ..." Pak RT berpaling ke arah bapak-bapak yang lain. Saat melihat aku masih mematung di sana, ia menambahkan, "Barusan ada keributan sedikit, Mas Hamam. Pasangan yang di ujung gang itu, istrinya dipukuli suaminya ... memang sering ribut mereka itu ..."
"Sekarang yang terparah ..." Pak Asep, yang membuka warung di mulut gang, menggelengkan kepalanya.
"Iya ... padahal kan warga baru ... sudah kasar begitu, istrinya ngilang baru deh menyesal ..." Pak Faisal menimpali.
Hilang?
"Mas Hamam barangkali kenal? Itu loh, mbak cantik yang suka lewat sini setiap pagi. Mbak Indah, namanya."
Jantungku seperti jatuh merosot hingga ke lutut.
"Ayo, Mas Hamam ... pamit dulu." Bapak-bapak melambaikan tangan mereka, meninggalkanku yang masih termangu di depan pagar.
Setelah mengunci pagar, aku masuk ke dalam rumah, masih dengan perasaan resah.
Indah.
Jadi, itulah namanya. Seindah orangnya, seindah bayangannya di kepalaku, setiap aku mau tidur.
"Maaf ..."
Langkahku terjajar ke belakang. Di ruang tamuku, kini berdiri perempuan itu. Indah. Ia berdiri di hadapanku. Dengan rambut acak-acakan, dan wajah yang ...
"Maafkah saya Mas ... saya masuk lewat jendela kamar yang kebuka ..." tangannya menunjuk ke arah kamarku. Ah rupanya, aku meninggalkan jendela dalam keadaan terbuka lagi, tadi siang sebelum berangkat ke HOT-ARTS.
Aku masih tak bergerak. Otakku sibuk mencerna apa yang baru saja kulihat, dan apa yang harus kulakukan.
"Saya ... saya ... entah kenapa terpikir ke sini ... mungkin karena Mas selalu baik dan tersenyum sama saya ... padahal Mas juga ga kenal saya ..." Ia menangkupkan sebelah tangan menutupi mulutnya, meredam isak tangis yang kemudian berwujud menjadi suara lirih yang membuat hatiku ikut merasa pedih.
Tanpa berpikir panjang, aku melangkah menghampirinya. Kuraih sebelah tangannya, dan mendorongnya duduk di atas sofa. Aku mencari-cari kotak obat di lemari dapurku. Rasanya masih ada, dan masih utuh.
Aku membersihkan luka-luka di sekitar wajahnya. Seperti goresan bekas benda tajam. Kecil-kecil saja sebetulnya, namun cukup banyak. Ia mengerenyit setiap kali lukanya tersentuh. Aku berhenti setiap kali ia begitu. Prosesnya menjadi sangat lama. Membuatku ikut tersiksa, bukan saja melihat begitu banyak luka di wajahnya, namun juga berada sedekat ini dengannya. Embusan napasnya saja terasa menyentuh kulit wajahku.
Sebelah wajahnya lebam, menyisakan bekas membiru. Aku merendam handuk kecil dalam air hangat, dan menyodorkannya. Ia menerima kompresan itu dan menempelkannya di sana. Ia langsung mengaduh. Refleks aku membelai rambutnya, agar ia tahu bahwa aku juga ikut merasakan sakit, melihatnya sakit.
"Ma ... makasih, Mas." Sudut bibirnya juga pecah. Ya Tuhan, sungguh brengsek lelaki yang sudah melakukan ini padanya.
Aku membereskan kotak obat di atas meja. Setelah ini, aku akan menyeduh air panas untuknya. Mungkin membuat kopi atau teh.
Pergelangan tanganku ia cengkeram. Aku menoleh.
"Mas, kenapa tak pernah mau bicara denganku?"
Aku menelan ludah.
"Setiap pagi dan sore aku menyapa, sering berharap bisa mengobrol denganmu ... tapi Masnya selalu diam ..."
Aku melepaskan tangannya yang mencengkeram tanganku, perlahan.
"Mas kelihatannya baik, sabar ... tidak seperti ..." airmata mengembang kembali di pelupuk matanya.
Aku menggeleng-gelengkan kepala. This isn't right ... It doesn't feel right.
"Mas, namanya siapa?"
Aku menggigit bibirku. Ia menatapku lekat. "Namaku Indah. Nama Masnya, siapa?"
Ada gumpalan yang mendesak di tenggorokanku, membuatku sulit bernapas. Kedua mataku memanas.
"Mas?"
Aku merogoh notes kecil yang selalu kubawa kemana-mana dari saku belakang celana panjangku. Juga sebatang pena, yang kuambil dari saku kemeja.
Aku menuliskan beberapa kalimat di sana, kemudian kutunjukkan kepadanya.
NAMAKU HAMAM.
AKU BISU.
***
In my dreams, you're with me ...
We'll be everything I want us to be
And from there, who knows, maybe this will be the night that we kiss for the first time.
Or is that just me and my imagination ...

Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Ares di Ambang Kiamat
Senin, 15 November 2021 08:34 WIBMy Imagination
Senin, 15 November 2021 08:28 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler